Permasalahan Teologis Penyembahan Berhala dalam Kekristenan

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

[1]Dari sudut pandang ini, tujuan teologi Kristen pada zaman dahulu adalah lahir ketika para teolog Kristen mengadopsi model pendidikan dari sebuah sekolah filsafat kuno yang mengarahkan ilmu teologi mereka. Pada mulanya isi dari Perjanjian Lama lebih berpihak kepada hal-hal yang tidak berpihak kepada bangsa lain melainkan hanya kepada keturunan aslinya Abraham. [2]Memang, dalam Perjanjian Lama kecemburuan Allah selalu berasa dalam konteks penyembahan berhala. Hukum Taurat yang kedua dengan jelas melarang apalagi penyembahan kepada patung oleh karena alasan Allah itu cemburu. Dengan demikian, kecemburuan Allah atas penyembahan berhala menyatakan bahwa Allah mengasihi umat-Nya dan sekaligus menyatakan keadilan Allah dalam hal pemberian berkat bagi yang mengasihi-Nya. Kasih Allah menyatakan hubungan-Nya dengan umat bahkan kita sebagai orang percaya harus memiliki hubungan yang benar dengan Allah. Ada [3]beberapa alasan mengapa banyak orang menyembah berhala diantaranya untuk menghormati orangtua untuk menerima pusaka dan jimat-jimat untuk perlindungan. Alasan yang kedua, mereka merasa takut kepada roh orang yang sudah meninggal marah maka sesering mungkin untuk melayani dengan memberikan sesajen dan berdoa di kuburan untuk memanggil orang yang meninggal itu supaya tidak marah, mengganggu sebab jika roh orang yang sudah meninggal itu marah menurut mereka dapat menimbulkan berbagai masalah dan wabah penyakit. Alasan ketiga ialah dukun memakai hal-hal yang rohani, dukun juga sering memakai benda-benda rohani seperti Alkitab, salib, lilin, roti dan anggur perjamuan kudus sehingga hal ini mengakibatkan banyak orang beranggapan bahwa itu berasal dari Tuhan. Alasan yang keempat karena dapat mendatangkan keuntungan dan pertolongan. Alasan kelima, karena tuntutan adat istiadat dengan praktik olkutisme, ada bukti-bukti yang meyakinkan, dan mereka menggunakan jasa kuasa kegelapan karena takut dengan kuasa setan yang mengganggu hidup dari kuasa kegelapan

Ketika Allah membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir ke Sinai, untuk memberi mereka Hukum Taurat dan Perjanjian-Nya “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit diatas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air dibawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah” (Keluaran 20:4-6). [4] Sejak Allah dan bangsa Israel menjadi milik Allah sehingga Israel harus menyembah Allah sendiri dan Israel dilarang menyembah berhala. Bahkan disituasi yang serba kekinian tidak dapat dihindari bahwa penyembahan berhala itu masih ada misalkan pesugihan, percaya kepada roh nenek moyang dan masih banyak lagi. David Orton menuliskan bahwa kegagalan umat Allah sepanjang sejarah adalah penyembahan berhala ialah menyembah ilah-ilah lain. Kamus Webster memberikan defenisi untuk kata “cemburu” yaitu khawatir kehilangan pengabdian yang ekslusif, tidak toleransi terhadap persaingan atau ketidaksetiaan, memusuhi seseorang yang dipercaya untuk menikmati keuntungan, dan waspada untuk menjaga apa yang menjadi milikinya. Kita tidak sedang menyembah berhala-berhala dari kayu, logam dan batu pada masa kini. Masalah kita adalah apa yang oleh sebagian orang disebut “berhala-berhala hati”. Dalam pengertian ini, berhala dapat berarti apa saja yang sangat kita junjung tinggi sehingga dapat membakar energi kita secara emosional dan mental kita, bahkan keberdayaan kita sebagai manusia.

Berhala dapat merusak hubungan kita dengan Allah.  Adapun unsur-unsur penting yang perlu dipecahkan dalam pembahasan ini ialah apakah penyembahan berhala masih ada sampai saat ini? Dan bagaimana cara mengatasi penyembahan berhala dalam konteks sekarang ini? Tujuan penulisan karya ilmiah ini ialah memahami makna penyembahan berhala dalam Perjanjian Lama dan relevansinya di zaman sekarang ini. Oleh karena itu orang percaya harus menolak segala bentuk penyembahan berhala dan penyembahan berhala mendatangkan kecemburuan Allah disaat Ia menyatakan keadilan-Nya.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    MENGENAL KEBERADAAN ALLAH

[5]Selama ini konsep keberadaan Allah yang kita kenal adalah Allah Alkitabiah. Allah yang disaksikan Alkitabiah ialah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Kristus. dalam perkembangannya ada saja upaya manusia oleh para filsuf mulai dari Descartes dari zaman modern hingga A.N. Whitehead di zaman kontemporer. Memang filsafat sering memperdebatkan apa yang disebut “tuhan” oleh agamawan. Beberapa Filsuf mengatakan tidak mampu menilai kebenaran-kebenaran iman berdasarkan wahyu. Sebaliknya ada pemikir, misalnya Hegel, mengklaim tahu lebih baik tentang isi iman dan lebih sanggup menjelaskan dari pada agama itu sendiri memahami isi ajarannya. [6]Postmodernisme berpendapat, kita terperangkap dalam penjara Bahasa yang membatasi pemahaman kita sehingga kita tidak dapat memahami realitas Tuhan secara objektif dan akurat sebagaimana adanya. [7]Ketika manusia diciptakan, dia memiliki respon yang bersifat budaya. Maka tatkala Allah memberikan wahyu umum kepada manusia, makhluk satu-satunya yang dapat memberikan reaksi terhadap wahyu Allah ini, memberikan respon terhadap Allah baik secara budaya maupun agama. Sistem nilai yang bersifat internal kebudayaan selalu menjadi sesuatu yang serius bagi agama pada zaman sekarang ini. Maka budaya telah membangun dasar yang baik pada segi logika, emosi, kehendak, moral dan kehidupan dan setiap lapisannya. Tiada satu agama yang agung yang tidak membangun suatu esensi yang sejati, kebajikan dan keindahan maka inilah sebuah tanggung jawab budaya dan tanggung jawab agama. Dari sudut pandang yang seperti inilah perlu kita ketahui bahwa manusia selalu mengutamakan sisi kebudayaan yang akan menjadi berhala mereka sehingga lupa kepada Allah.

 

B.     Konteks Penyembahan Berhala

Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel membongkar Polemik raksasa melawan penyembahan terhadap berhala-berhala. Pertama mereka berkata bahwa berhala itu kosong bukan apa-apa dan tidak berkuasa (Yesaya 2: 8; Yeremia 1:16) kedua, berhala adalah suatu kekuatan rohani yang menghisap semua kekuatan (dimana semakin mencari kekuatan melaluinya makin menguras habis kekuatan sehingga membawa kebutaan rohani, ketiga berhala menyebabkan perbudakan (Yeremia 2:25) dimana berhala akan meracuni hingga ketergantungan kepadanya (Yesaya 44:17). Segala sesuatu adalah milik Allah mempunyai mutu hayat Allah yang tidak terukur, namun Allah menciptakan manusia untuk menerima perlindungan yang diperlukan. [8]Orang-orang Kristen dari gereja-gereja suku memuja nenek moyang mereka dengan berbagai cara. Di Sumatera Utara mereka membuka kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu. Mereka mendirikan patung-patung buat nenek moyang yang sudah meninggal lalu menempatkan tulang-tulang mereka di dasar monument itu. Di pulau Nias dan di pulau-pulau Batu, nenek moyang mereka yang sudah meninggal itu dibuat hadir secara “hidup” dalam patung-patung yang dipahat itu. Ada beberapa jenis tugu nenek moyang yang paling banyak dipakai pada tahun limapuluhan dan yang terdapat di mana-mana seperti patung bunga teratai (sebagai lambang kesuburan berhubungan dengan arca) telah menjadi terkenal di India. Namun demikian, upacara untuk orang mati dan upacara pada makam merupakan kesalehan rakyat yang ditolak oleh bapa-bapa gereja, uskup-uskup dan pimpinan-pimpinan gereja. Persekutuan dan pernyataan Kristus tidak mampu menghapus persoalan penyembahan berhala ini. Segenap perhatian teologis terutama secara antitetis terarah kepada pemusnahan sinkretisme dalam konsepsi tentang Allah dan cara menyeru kepada Allah, yaitu kepada kemenangan monoteisme Alkitabiah dan kepada pemahaman keselamatan hanya di dalam Yesus.

Cara yang dipakai oleh orang Kristen faktor-faktor yang menentukan bukan terletak dalam iman dan baptisan melainkan tingkat perkauman menurut darah dan tingkat genealogi. [9]Marilah kita menyelidiki ucapan-ucapan yang terdapat dalam Perjanjian Baru tentang singgahnya Kristus ke dalam dunia orang mati (Matius 12:40; KPR 2:24) menggambarkan Yesus ketika mati dan dibangkitkan. [10]Dalam kajian soteriologinya Tuhan sendiri menyatakan kemahakuasaanNya dengan mematahkan kuasa kegelapan setan dan telah membawa keselamatan bagi orang-orang percaya dari zaman Perjanjian Lama dan juga orang-orang kafir. Disini patut ditonjolkan dua unsur yang pertama 1 Petrus 3:9 tersimpul bahwa orang mati yang meninggal sebagai orang yang tidak percata mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan Injil. Yang kedua 1 Petrus 4:6 ialah bahwa bagi semua orang mati yang berada di luar sejarah keselamatan juga dibuka kemungkinan untuk sampai kepada hidup yang kekal bersama Allah. Lalu yang menjadi pertanyaan bagi kita ialah apakah orang Kristen boleh memperingati orang mati? Peringatan orang mati secara Kristen harus dibedakan dari konsepsi-konsepsi yang memberikan kepada nenek moyang suatu pengaruh yang sungguh-sungguh dan bersifat pengantara, Alkitab tidak memberikan sebuah kepastian dan kita tidak boleh hidup atas kepercayaan itu sendiri. Kita harus lebih hati-hati dalam menentukan sikap kita terhadap munculnya orang mati secara spontan dan tidak dipanggil, yang banyak sekali dikabarkan oleh orang. Kita tidak boleh diikat oleh budaya semacam itu.

[11]Kesetiaan Allah memungkinakan kepastian iman manusia

a.       Kesetiaan itu merupakan faktor kepastian dan kelanggengan yang merangkum segalanya dalam peristiwa dan nasib manusia. Masa depan sangat bertolak dengan masa lampau dan pandangan mata manusia dipalingkan kepada hari-hari nenek moyang. Kesatuan waktu menurut Alkitab mempertalikan kehidupan manusia dan keselamatan Allah dengan kejadian dunia jalannya dunia dan dengan pemenuhannya.

b.      Dalam pada itu juga, kesetiaan Allah menyatakan diri bahwa Ia adalah Allah yang akan datang. Allah datang dalam ciptaan kepada manusia, Ia datang kepada bangsaNya Mesir untuk membebaskan bangsa itu. Manusia teringat pada hari-hari para Bapa leluhur, pada waktu Allah datang kepada mereka membawa keselamatan. Kesetiaan Allah itu menunjukkan keselamatan dalam segala kebinasaan. Itu, berarti bahwa ia menunjukkan hidup juga dalam kematian. Sebab Allah adalah Allah orang hidup.

c.    Kesetiaan Allah di dalam Alkitab adalah bentuk yang didalamnya kita dapat mengungkapkan ketidakbinasaan, disini Allah memihak kepada kita dan meniadakan segala pemisahan (Roma 8:31-39).

d.      Kesetiaan Allah itu hendaknya jangan disalah pahami. Allah tidak mempunyai anak cucu. Ia bekerja dalam setiap angkatan secara lain. Kesetiaan Allah dapat dialami manusia hanya dalam pertobatan dan iman. Dalam kegagalan dalam penerimaan anugerah.

 

C.    Pemahaman Penyembahan berhala

[12]Dalam konteks Roma 1:18-25 memberitahukan kepada kita bahwa alasan kita membuat berhala adalah kita ingin mengontrol hidup kita, meskipun kita tahu bahwa kita berutang pada Allah akan segala sesuatu. “sebab sekalipun mereka menegnal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya” (ayat 21). Kemudian ayat 25 menggambarkan strategi untuk kontrol mengambil ciptaan dan menetapkan hati kita pada mereka dan membangun hidup kita disekitar mereka. Terdapat 2 hasil penyembahan berhala yaitu:

a.       Pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh

b.      Mereka memuja dan menyembah makhluk ciptaan

Kemudian mari kita lihat dalam konteks Galatia 4:8-9 disana Paulus berkata, “Jangan kembali ke penyembahan berhala.” Paulus mengingatkan orang-orang Galatia bahwa mereka dulu telah diperhambakan “kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. Kemudian orang yang sudah Kristen ingin diperbudak oleh kekuasaan untuk sukses dan berpengaruh, kenyamanan untuk mengalami kebebasan tanpa pengetahuan yang cukup tentang Allah, kehilangan kendali sehingga tidak dapat mendisplinkan pribadi dan standar iman yang masih kurang dalam menghadapi dunia.

BAB III

        PENUTUP

Kesimpulan

Kebudayaan adalah kesuksesan yang dicapai berkat pergumulan tetapi kebudayaan telah didistori oleh dosa. Dalam hal penyembahan berhala para pemimpin gereja harus berani memisahkan adat dengan agama agar tidak menjadi berhala yang terlihat bagi umat. Pemisahan adat dalam tata kebiasaan sipil orang-orang Kristen pada satu segi dipahami sebagai sesuatu yang analitis bahkan perasaan hidup didalamnya terdapat norma-norma Perjanjian Baru tampak kekuasaan kosmos. Kita tahu bahwa dosa agung di zaman Musa adalah pembuatan sapi emas (Keluaran 32) setelah peraturan tentang tingkah laku Perjanjian diberikan di dalam Keluaran 20-23, ada sebuah peringatan kesimpulan melawan pembuatan perjanjian dengan ilah-ilah lain. Setiap komunitas manusia baik bentuk pemikiran manusia akan didasarkan pada sejenis keprihatian tertinggi terhadap sesuatu. Sekelompok orang percaya terhadap kuasa kegelapan dan terlibat aktif dalam penyembahan berhala, misalnya orang yang mencari ilmu sihir, pelaris dan pemanis. Banyak orang juga mengakui adanya kuasa kegelapan, tetapi tidak takut menghadapinya karena mereka telah mempunyai kuasa untuk mengalahkannya yaitu kuasa Firman Tuhan. Hubungan antara kebudayan dan kurangnya pengetahuan akan penyembahan berhala merupakan kesalahan utama dalam memahami setiap ayat-ayat Alkitab. Penyembahan berhala merupakan kerajaan Iblis, kerajaan ini sisebut juga kerajaan kegelapan dan bertentangan dengan kerajaan Allah yang adalah kerajaan terang (1 Yohanes 1:5). Itulah sebabnya kerajaan kegelapan ini sangat memusuhi kerajaan Allah dan berusaha untuk membinasakannya. Orang Kristen harus aktif memerangi musuh itu mengingat bahwa iblis berkuasa tetapi tidak maha kuasa.

Adapun alasan orang dalam penyembahan berhala ini ialah karena terlalu menghormati orangtua seumur hidup, takut pada amarah orang yang sudah meninggal, dukun memakai hal-hal rohani dan benda-benda rohani, mendatangkan pertolongan yang menguntungkan dan rindu akan kebahagiaan. Kebudayaan harus di terapkan tetapi yang lebih diprioritaskan Firman Tuhan. kebudayaan yang ada dalam setiap suku cukup nilai yang bagusnya yang dijalankan, jika permasalahan penyembahan berhala lebih baik ditinggalkan karena hal tersebut dapat meracuni hubungan kita dengan Allah. Kita sudah selamat dan Roh Kudus adalah sahabat kita dalam menjalani setiap panggilan kita Efesus 1:13-14“karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu -- di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.”.

Daftar Pustaka

 

Markschies Christoph, Christian Theology and Its Institutions in the Early Roman Empire Prolegomena to a History of Early Christian Theology, For Europe and the UK. 2015

 

Wauran Quenncy Christie, Kajian Biblika kecemburuan Allah terhadap penyembahan berhala terhadap penyembahan berhala berdasarkan Keluaran 20:4-6. STT Jaffray (Jurnal Teologi)

 

Elfrida Saragih, Ebenhaizer 1 Nuban Timo. Kajian Teologis mengenai praktik okultisme dan pelayanan pelepasan bagi Mahasiswa, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan warga jemaat. Vol 4, Nomor 1, Januari 2020.

Hauck Fr., Neues Testament Deutsch, GÖttingen (seri tafsiran PB). 1947

Gaebelein, Frank E, The Expositor’s Bible Commentary With The New Internasional Version Volume 2 (Grand Rapids, Michigan: Zoncervan Publishing House. 1990

 

Tjahjadi, Simon Petrus L., Tuhan Para filsuf dan Ilmuwan. Dari Descartes sampai Whitehead. Kanisius, Yogyakarta. 2007

 

Smith, R. Scott. Truth And New Kind Of Christian: The Emergency Effect Of Postmodernism in the Church Crossway Books, USA. 2005

 

Tong Stephen, Dosa dan Kebudayaan,Surabaya, Momentum Institut Reformed. 2007

 

Schereiner Lothar, Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta. 2003

 

Caird G.B., Caird: The Revelation of St. John. 1996

 

Ratschow C.H., Anmerkungen Zur theologischen Auffassung des Zeitproblems, dalam ZThK 51

 

Luther Martin, A Treatise On Good Works, Kessinger Publishing, Part X. 1520

                      



[1] Christoph Markschies, 2015, Christian Theology and Its Institutions in the Early Roman Empire Prolegomena to a History of Early Christian Theology, For Europe and the UK. Halaman 2

[2]Jurnal: Quenncy Christie Wauran, Kajian Biblika kecemburuan Allah terhadap penyembahan berhala terhadap penyembahan berhala berdasarkan Keluaran 20:4-6. STT Jaffray. Halaman 12

[3] Elfrida Saragih, Ebenhaizer 1 Nuban Timo. Kajian Teologis mengenai praktik okultisme dan pelayanan pelepasan bagi Mahasiswa, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan warga jemaat. Vol 4, Nomor 1, Januari 2020. Halaman 50

[4] Frank E. Gaebelein, 1990, The Expositor’s Bible Commentary With The New Internasional Version Volume 2 (Grand Rapids, Michigan: Zoncervan) Publishing House. Halaman 486.

[5] Tjahjadi, Simon Petrus L. 2007, Tuhan Para filsuf dan Ilmuwan. Dari Descartes sampai Whitehead. Kanisius, Yogyakarta. Halaman 140

[6] Smith, R. Scott. 2005. Truth And New Kind Of Christian: The Emergency Effect Of Postmodernism in the Church Crossway Books, USA, Halaman 144

[7] Stephen Tong, 2007, Dosa dan Kebudayaan,Surabaya, Momentum Institut Reformed, Halaman 29

[8] Lothar Schreiner, 2003 Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 173

[9] G.B. Caird, 1966, Caird: The Revelation of St. John. Halaman 26

[10] Fr. Hauck, 1947, NTD 10. Halaman 70

[11] C.H. Ratschow, Anmerkungen Zur theologischen Auffassung des Zeitproblems, dalam ZThK 51. Halaman dyb 367 dan 376 dyb

[12] Martin Luther, 1520, A Treatise On Good Works, Kessinger Publishing, Part X. Halaman 18

Posting Komentar

0 Komentar